Tersebutlah dua setengah dekade yang lalu, tatkala aku masih kelas 1 SD keluarga kami berpindah dari satu tempat ke tempat yang baru masih dalam kota yang sama, Kotif Bekasi, Bekasi Timur, namun berbeda sekali kondisi/pemandangannya. Pada wilayah sebelumnya kami berada dalam pemukiman penduduk, dekat rel, dan juga jalan raya. Di daerah baru ini ....persawahan terhampar luas, sejauh mata memandang, bagaikan lautan hijau yang mengalun tatkala angin berhembus. Pagi
hari kabut tebal menyelimuti persawahan tersebut. Kami saat itu begitu "norak", karena belum pernah melihat kabut dan embun. Ketika hujan kodok "blentung" berkotek-kotek. Sungguh menakjubkan, kami dapat melihat lokasi lain telah hujan, sedangkan di tempat kami belum serintik pun air menetes dari langit. Juga bayang-bayang awan yang bergerak di daratan membuat fenomena yang begitu memukau: Di satu sisi panas terkena sinar matahari, di satu sisi adem dilindungi awan. Kami senang sekali berlarian di lapangan mengejar/dikejar awan, hujan, atau bersembunyi dibalik kabut.
Rumah kami yang baru ini berada di pinggiran empang milik warga setempat yang mayoritas orang Betawi. Saat kelas 4 SD, aku pindah ke SD setempat. Awalnya aneh juga bahasa Betawi yang dipergunakan karena benar-benar variatif, tidak seperti dugaan kebanyakan orang bahwa bahasa Betawi hanya mengganti ucapan "a" dalam bahasa Indonesia menjadi "e" ("kita" jadi "kite"). Memang belakangan baru diketahui kalau Bahasa Betawi terbagi menurut wilayahnya. Kalau yang pake kata semacam "gue, ke mane, ape itu termasuk bahasa betawi tengah (a la Benyamin). Sedangkan "gua, ke mana, kita" masuk Betawi pinggiran. Betawi di Bekasi ini termasuk Betawi pinggiran (ala Mandra).
Awal-awal di kampung baru ini bisa dikatakan masa-masa redup. PLN belum mau menginstal listrik kecuali ada beberapa calon pelanggan terdekat ikut memohon pemasangan listrik. Mau tak mau kami pun harus menyesuaikan diri dengan keadaan. Pada malam hari kami menggunakan lampu teplok dengan bahan bakar minyak tanah. Menyeterika menggunakan arang. Air menggunakan pompa tangan. Benar-benar kembali ke zaman "Fir'aun" (kata Zainuddin MZ, yang saat itu dijuluki da'i sejuta umat). Kami tak bisa nonton TV juga. Kami hanya mendengarkan radio AM/MW yang menggunakan batu baterai. Saat itu banyak radio AM/MW yang hijrah ke FM.
Memang, kami harus menerima kenyataan ini. Ada beberapa peristiwa yang cukup membuat dongkol berkaitan dengan ketiadaan listrik. Saat aku masih kelas 1, ada sebuah tugas dari mata pelajaran elektronika. Yakni PR menyolder komponen elektronika. Aku pun bingung, mau nyolder pegimane, listrik aje kagak ade.
Pada semasa awal kami berada di kampung ini, bisa dikatakan rata-rata kehidupan penduduknya bertopang pada pertanian, ada yang menjadi buruh, ada pula yang menganggur.
Kira-kira setahun setelah adikku yang paling kecil lahir, mulai banyak berdatangan pendatang terutama dari Indramayu. Ibuku pun melihat peluang itu dengan membuka kontrakan. Tak lama pendatang dari Indramayu pun kian berlimpah. Bisa dikatakan ini adalah awal dari era "Indramayu Invasion". Kontrakan penuh. Hal ini membuat penduduk lainpun mencium bisnis kontrakan sebagai usaha yang menjanjikan. Akhirnya bisnis kontrakan pun menjamur ke mana-mana, berkat "Indramayu Invasion".
Sebenarnya lucu juga menyebutnya dengan Indramayu Invasion, karena mengingatkan kita pada British Invasion. British Invasion adalah era di mana musisi dari Inggris berbondong-bondong memasuki pasar musik Amerika Serikat, karena di negerinya sendiri mereka dijerat oleh tarif pajak yang begitu mencekik. Selain itu menembus pasar Amerika adalah sesuatu yang begitu membanggakan.
Adapun alasan penduduk Indramayu hijrah ke Bekasi dan Jakarta adalah karena di sana tanahnya tidak subur, padahal banyak yang mengandalkan hidup dari pertanian.
Entah tahun berapa aku nggak ingat, listrik akhirnya masuk juga ke rumah kami. Kali ini kami "norak" kembali dalam pengertian terbalik dari kenorakan sebelumnya. Dulu, sewaktu baru pindah kami begitu norak berada di wilayah yang begitu alami, tanpa listrik, begitu tenang. Kini kami norak, kembali ke era modern, lampu listrik menyala, dan sebagainya.
Sekitar pertengahan '90-an, hamparan sawah hijau nan luas itu rupanya begitu menggoda seorang developer berleluhur negeri Tirai Bambu, dan dengan perencanaan yang matang dan penuh intrik, beliau pun mulai melobi keluarga kami untuk mau dipindahkan (bahasa halusnya "digusur"). Ujung-ujungnya kami pindah masih dalam kampung yang sama, namun dengan area setengahnya dari rumah kami sebelumnya.
Kini persawahan hijau itu yang begitu mempesona telah dihabisi, dan berganti menjadi Taman Kota.
Jika JL melagukan daerah yang begitu dikenangnya dengan lagunya Strawberry Fields Forever, maka aku melagukan daerah yang kukenang sebagai Mede Fields Forever
1 comment:
tes coba try attempt
Post a Comment