Tahu itu yang baik, tapi kok yang dikerjakan kebalikannya? Tahu ini tidak baik, kok malah dilakukan? Demikianlah intisari dari tantangan berkehendak.
Charlotte Mason menyebutnya sebagai dual self– diri bersisi dua. Sebagian pakar otak menyebutnya “satu otak, dua benak” (one brain but two minds). Seolah-olah ada dua pribadi yang menyetir kehidupan kita. Ada versi diri kita yang impulsif, bertindak atas dasar hasrat sesaat, dan ingin memenuhi hasrat itu seketika. Dan ada versi lain diri kita yang bermoral serta logis, selalu berusaha mengendalikan impuls-impuls dan menunda kenikmatan sesaat demi tercapainya tujuan jangka panjang.
Aku yang impulsif di otak tengah-belakang dan aku yang bijak di otak depan. Keduanya bertolak belakang, tapi sama-sama bagian dari diri “aku”. Kadang kita berpihak kepada si bijak yang berniat menjaga gula darah stabil atau menurunkan berat badan. Kadang kita menuruti si impulsif yang ingin mengunyah kue. Memang begitulah yang namanya tantangan berkehendak.
Sebagian dari diri kita ingin satu hal, sementara bagian lain ingin hal lain. Si impulsif berteriak “ini! sekarang!”, si bijak menasihati “yang lain saja! Ingat masa depan!”. Saat keduanya beradu, seolah terjadi pertempuran di dalam diri. Harus ada satu yang menang atas lainnya.
Pertanyaannya: apakah impuls atau naluri itu jelek, jahat, memalukan, berdosa, terkutuk?
Sama sekali tidak! “Bagian dari diri Anda yang ingin menyerah [pada godaan],” tulis Kelly McGonnigal, “bukannya jelek – dia hanya memiliki sudut pandang berbeda tentang mana yang harus diprioritaskan.” Bagian otak primitif yang mengaktifkan impuls inilah yang sepanjang sejarah manusia telah membuat ras kita bertahan hidup. Riset-riset medis mendapati, tanpa impuls dan naluri, rasa takut dan hasrat, manusia juga tak bisa menjaga kesehatan dan menjadi bahagia.
Di satu kasus ekstrem, ada seorang perempuan muda yang otak tengahnya rusak parah akibat operasi untuk menghentikan kejang-kejangnya. Perempuan ini lantas tampak tak sanggup lagi merasakan takut atau jijik – dua instink yang sangat penting. Akibatnya, dia jadi suka menjejali dirinya dengan makanan sampai sakit. Bahkan dia dilaporkan berulang-ulang mengajak anggota-anggota keluarganya untuk berhubungan badan!
Ternyata, tanpa impuls dan naluri, tak ada pula pengendalian diri. Tanpa hasrat, manusia bakal terjerumus dalam depresi. Tanpa rasa takut, kita bakal gagal melindungi keselamatan dari marabahaya. Dengan kata lain, instink pun diperlukan agar hidup kita utuh. Ketika instink dan rasio bekerjasama, kita bisa membuat keputusan-keputusan bagus. Jadi, jangan berniat melenyapkan instink-instink primitif, tapi kenali dan manfaatkan hasrat dan impuls itu untuk mendukung tujuan jangka panjang kita.
Bisa mengenali si aku yang impulsif akan memudahkan kita mengendalikannya. Untuk itu, kerjakanlah yang berikut:
TUGAS #3
Terkait tantangan kehendak yang Anda pilih untuk garap selama kursus ini, mari petakan “pertempuran batin” yang Anda alami. Sisi impulsif Anda ingin apa? Sisi bijak Anda ingin apa?
Berilah nama pada sisi impulsif diri Anda itu. Misalnya, Si Tukang Tidur karena bagian diri Anda itu malas sekali disuruh bangun pagi dan beraktivitas. Atau Si Cerewet yang sukanya mengomel; Si Pengeluh yang hobinya komplain; Si Meledak-ledak yang gampang sekali tersulut emosi; Si Monster Kue yang maunya melahap manis-manis terus; Si Penunda yang selalu enggan disuruh memulai tugas apa pun. Dan julukan-julukan lainnya.
Memberi nama pada sisi impulsif diri akan membantu Anda mengenali ketika ‘dia’ hendak menguasai Anda. “Eh, ini si Cerewet muncul!” “Awas, Si Meledak-ledak mulai panas!” “Terang bulan coklat-keju? Wah, Monster Kue langsung semangat!” Begitu sadar bahwa si impulsif ingin berkuasa, maka si bijak dengan sendirinya akan menguat dan bangkit untuk mengendalikan.
Contoh pribadi: Ketika saya bangun pagi ini, lalu melirik jam dinding, Si Tukang Tidur dalam diri saya berbisik: “Ah, baru jam tiga pagi, bobok lagi saja dulu, ngetiknya kan bisa nanti ...” Hampir seketika, Si Bijak pun menasihati, “Kalau menunggu nanti, bayi akan keburu bangun, harus dikeloni lama, tahu-tahu sudah jam enam, waktunya menggarap urusan rumah tangga lain, pasti tak akan sempat mengetik, jadi kerjakan saja sekarang ...”
Amatilah dalam beberapa hari ini: benarkah menamai si impulsif, mengenalinya saat dia ingin berkuasa, bisa membantu si bijak Anda menguat?
No comments:
Post a Comment