Kita takut mati. Untuk mengakhiri ketakutan terhadap maut, kita harus merasakan kematian, bukan dengan gambaran yang telah dibentuk pikiran tentang kematian, melainkan kita harus benar-benar merasakan keadaan itu. Kalau tidak, ketakutan itu tidak akan berakhir, oleh karena kata ’mati’ menciptakan ketakutan, dan kita bahkan tidak mau mendiskusikannya. Dalam keadaan sehat, normal, mampu berpikir secara jernih, berpikir secara obyektif, mengamati, mungkinkah kita merasakan fakta itu, secara total? Badan jasmani ini, karena aus, karena sakit, akhirnya akan mati. Jika kita sehat, kita ingin menemukan arti kematian. Ini bukan keinginan yang tidak sehat, oleh karena mungkin dengan mati kita akan memahami hidup. Hidup, seperti adanya sekarang, adalah siksaan, gejolak tanpa akhir, kontradiksi, dan oleh karena itu terdapat konflik, kesengsaraan, dan kebingungan. Setiap hari pergi ke kantor, kenikmatan yang berulang terus-menerus, disertai kesakitan, kecemasan, meraba-raba, ketidakpastian—itulah yang kita namakan hidup. Kita menjadi terbiasa dengan hidup semacam itu. Kita menerimanya; kita menjadi tua bersamanya, lalu mati.
Untuk menemukan apa arti hidup, dan juga menemukan apa arti mati, kita harus merasakan kematian; yakni kita harus mengakhiri segala sesuatu yang kita ketahui setiap hari. Kita harus mengakhiri gambaran yang telah kita bangun tentang diri kita, tentang keluarga kita, tentang handai taulan kita, gambaran yang dibangun melalui kenikmatan, melalui hubungan kita dengan masyarakat, segala sesuatu. Itulah yang akan terjadi bila kematian tiba.
~ J. Krishnamurt, "Buku Kehidupan"
No comments:
Post a Comment